
Sukses Kiyai Bisri Mustofa sebagai penulis tak lepas dari jasa Haji Zaenuri, pendiri dan pemilik perusahaan Penerbit Menara Kudus, yang sejak saling kenal lantas bersedia menerbitkan apa pun yang ditulis Mbah Bisri tanpa perduli kemungkinan laku-tidaknya. Tapi itu terjadi belakangan, mungkin sejak pasca 50-an. Sebelum itu, penerbit yang pertama kali dikontak oleh Mbah Bisri adalah Salim Nabhan Surabaya.
Naskah kitab “Ausathul Masalik” (syarh Alfiyyah Ibn Malik) diselesaikan sebelum tahun 50-an. Mbah Bisri muda belum punya nama. Naskah itu dibawanya kepada Salim Nabhan di Surabaya. Karena sadar belum punya nama, Mbah Bisri khawatir Salim Nabhan tak tertarik dengan naskahnya itu. Maka ia pun memutar otak merancang akal akalan.
“Saya Mashadi dari Rembang”, Mbah Bisri memperkenalkan diri. “Mashadi” adalah nama kecilnya, yang kemudian diganti dengan “Bisri” sesudah beliau naik haji.
“Ada perlu apa?”
“Saya utusannya Kiyai Bisri Mustofa Rembang”.
Salim Nabhan mengernyitkan dahi. Benar perkiraan Mbah Bisri, Salim belum pernah mendengar nama itu,
“Kiyai Bisri Mustofa itu siapa?”
“Kiyai nahwu dari Rembang”
Salim manggut-manggut.
“Saya diutus mengantarkan naskah…”
Salim menerima naskah itu dan membuka-bukanya.
“Mau dilepas berapa?” Salim to the point.
“Kiyai Bisri Mustofa minta 20 ribu rupiah”.
Salim mengernyit lagi.
“Wah”, katanya, “kalau ini saya cuma berani 8 ribu…”
Mashadi pura-pura termangu.
“Saya tidak berani memutuskan. Saya harus matur Kiyai Bisri dulu”, katanya kemudian.
“Ya ya”, Salim setuju.
“Tapi”, Mashadi buru-buru menambahkan, “mohon maaf… saya sudah kehabisan sangu…”
Salim pun merogoh kocek, memberikan sangu yang cukup untuk balik ke Rembang.
Pergi dari rumah Salim, Mbah Bisri tidak pulang ke Rembang, tapi berhenti di tempat seorang famili di Pare, Kediri (kalau benar-benar pulang ke Rembang, sangu dari Salim tak akan cukup untuk kembali ke Surabaya lagi). Keesokan harinya, Mbah Bisri kembali ke Salim.
“Kiyai Bisri setuju 8 ribu rupiah saja”, katanya.
Mbah Bisri pun pulang ke Rembang dengan 8 ribu rupiah di tangan.
“Yang lazim terjadi di dunia fana ini adalah orang Arab mengadali orang Jawa”, kata Habib Chaidar bin Hasan Dahlan, Lasem, penulis Manaqib Kiyai Nawawi Banten dan Manaqib Kiyai Ma’shum Lasem, “Orang Jawa yang bisa mengadali orang Arab ya cuma Kiyai Bisri!”
[teronggosong]
Beritasantri.net Berita paling update seputar santri | islam | pesantren 