Sunan Sendang Duwur adalah salah satu ulama kharismatik yang menyebarkan agama Islam di Tanah Jawa khususnya di Kabupaten Lamongan.
Pemilik nama asli Raden Noer Rahmad dilahirkan pada 1320 M yang merupakan putra Abdul Kohar Bin Malik Bin Sultan Abu Yazid dari Baghdad (lrak) yang juga seorang ulama.
Diriwayatkan ayahnya Abdul Kohar sampai ke Pulau Jawa karena perahunya mengalami masalah dan terdampar di wilayah Sedayu Lawas, Lamongan sehingga akhirnya menetap di daerah tersebut.
Abdul Kohar sangat pandai berinteraksi dengan masyarakat sekitar Sedayu Lawas, dan akhirnya menikahi Dewi Sukarsih anak Tumenggung Joyo Sasmitro penguasa Sedayu.
Akhirnya Abdul Kohar dengan Dewi Sukarsih dikaruniai seorang anak laki- laki. Anak itu tidak lain adalah Raden Noer Rahmad. Oleh ayahnya Noer Rahmad dididik secara Islami dan ilmu kedigjayaan sehingga mewarisi kecakapan dan kehebatan ayahnya.
Sehingga dikisahkan terjadilah peperangan hebat antara Kerajaan Sedayu Lawas dengan Kerajaan Ronggolawe Tuban. Saat peperangan itu Syeh Abdul Kohar tengah pulang ke Baghdad.
Lalu Dewi Sukarsih membawa Raden Noer Rahmad hijrah meninggalkan Sedayu Lawas. Kemudian Raden Noer Rahmad muda juga mulai berguru ke Sunan Ampel dan beberapa tokoh sakti lainnya.
Seiring waktu Raden Noer Rahmad tiba di wilayah Sendang Duwur. Dari sinilah dimulai kisah Sunan Sendang Duwur.
Walau masyarakat pada zaman itu mayoritas beragama Hindu, tapi hal itu bukan penghalang bagi Raden Noer Rahmad untuk menyebarkan ajaran Islam.
Lalu Raden Noer Rahmad mulai menyebarkan agama Islam sambil mengajak masyarakat menanam pohon lontar (siwalan). Dari situ Raden Noer Rahmad menyisipkan ajaran kebenaran.
Salah satu cerita mengenai karomah Raden Noer Rahmad adalah ketika menghukum dua pencuri yang mengambil padi di lumbung miliknya. Sunan Sendang Duwur yang sedang melakukan salat Tahajud mengetahui ada pencuri mengendap-endap akan mencuri di lumbung pagi miliknya.
Dua pencuri itu tidak sadar jika Sunan Sendang Duwur menatap mereka dari jauh. Mereka keluar dari lumbung, namun saat membawa beras itu, kian lama mereka merasa kian berat dan berat. Dua pencuri nampak keberatan dan terjatuh. Mereka penasaran dan membuka dua karung yang dibawa. Ternyata isinya adalah ular yang sangat banyak. Dua pencuri menjerit ketakutan.
Mendengar teriakan suara minta tolong, warga berdatangan mengepung keduanya. Warga nyaris menghakimi keduanya karena ternyata dalam pengamatan warga, apa yang dibawa keduanya adalah beras.
Namun kedua pencuri itu ngotot dalam beras itu adalah ular bahkan mereka sudah tergigit. Kemudian muncullah Sunan Sendang Duwur.
Kemudian Sunan Sendang Duwur minta pada warga agar sabar. Sunan Sendang Duwur lalu bertanya pada keduanya apa benar mencuri.
Keduanya pun akhirnya mengaku. Dengan petuahnya, Sunan Sendang Duwur merubah penglihatan keduanya jika yang dibawa mereka adalah beras. Keduanya pun sangat malu dan berjanji tidak akan mencuri lagi dan mau mengikuti segala ajaran Sunan Sendang Duwur, yang sudah menyelamatkan mereka dari kepungan warga.
Berita mengenai kesaktian Raden Noer Rahmat sampai ke Sunan Drajat. Hingga pada akhirnya Raden Qosim atau yang lebih dikenal dengan Sunan Drajat mendatangi Raden Noer Rahmat guna untuk membuktikan kehebatan dan kesaktiannya.
Kemudian dalam perjalanannya Sunan Drajat bertemu dengan Raden Noer Rahmad. Lalu Sunan Drajat menyuruh kepada pembantunya menggali ubi jalar untuk dibakar.
Ubi tersebut berhasil digali dan ternyata besar, lalu dibelah menjadi dua, rencananya separuh untuk dibakar dan separoh dibawa pulang.
Namun oleh Raden Noer Rahmad ubi tersebut diminta dimasukkan kembali ke lubang asalnya, kemudian dicabut kembali. Ternyata ubi itu separuh matang dan yang separuh lagi masih mentah.
Sunan Drajat terkejut sampai nafasnya turun naik (Jawa = menggeh-menggeh). Dari kata menggeh-menggeh itu lalu hutan atau tanah tersebut oleh Sunan Drajat disebut Sumenggeh yang kemudian berubah menjadi Sumenggah.
Cerita karomah Raden Noer Rahmad yang lainnya yaitu ketika Sunan Drajat mau meminum air nira. Lalu sang sunan menghampiri sebuah pohon lontar yang besar kemudian batangnya di tepuk tiga kali. Legen (air nira) dan seluruh buah siwalan tersebut jatuh tidak ada yang tersisa.
Namun Raden Noer Rahmad mengatakan, bahwa cara seperti itu akan membawa kerugian pada anak cucu, karena mereka tidak memperoleh bagian apa-apa nantinya.
Raden Noer Rahmad kemudian mengusap pohon yang besar tiga kali dan dengan izin Allah pohon itu dapat merunduk tepat dihadapan Sunan Drajat.
Raden Noer Rahmad mempersilakan mengambil mana yang diinginkan, setelah itu pohon itu kembali tegak. Setelah menyaksikan dan yakin akan ketinggian ilmu Raden Noer Rahmad, Sunan Drajat memberinya gelar Sunan dan nama tempat tinggalnya diberi nama Sendang. Sehingga Raden Noer Rahmad bergelar Sunan Sendang Duwur.
Setelah mendapat gelar sunan, Raden Noer berharap bisa mendirikan masjid di Desa Sendang Duwur.
Karena tidak mempunyai kayu, Sunan Drajat menyampaikan masalah ini kepada Sunan Kalijaga yang mengarahkannya pada Ratu Kalinyamat atau Retno Kencono di Mantingan, Jepara, yang saat itu mempunyai masjid.
Ratu Kalinyamat merupakan putri Sultan Trenggono Sultan Demak Bintoro. Suaminya bernama Raden Thoyib (Sultan Hadlirin Soho) cucu Raden Muchayat, Syech Sultan dari Aceh.
Saat diangkat menjadi bupati di Jepara, R Thoyib tidak lupa bersyiar agama Islam.
Sehingga dibangun masjid megah di wilayahnya pada 1531 Masehi. Banyak ulama dan kiai saat itu kagum terhadap keindahan dan kemegahan masjid tersebut.
Setelah itu Sunan Drajat memerintahkan Sunan Sendang Duwur pergi ke Jepara untuk menanyakan masjid tersebut.
Tapi Ratu Kalinyamat berpesan, siapa saja yang bisa memboyong masjid ini seketika dalam keadaan utuh tanpa bantuan orang lain (dalam satu malam), masjid ini akan diberikan secara cuma-cuma.
Mendengar jawaban Mbok Rondo Mantingan, Sunan Sendang Duwur berdoa dan salat hajat lalu dengan izin Allah, dalam waktu tidak lebih dari satu malam masjid tersebut berhasil diboyong ke Bukit Amitunon, Desa Sendang Duwur. Masjid Sendang Duwur pun berdiri di sana pada tahun baru 1483 Saka atau 1561 M.
Betapa terkejutnya seluruh warga desa melihat kejadian itu. Dengan adanya masjid yang hanya dipindah dalam waktu semalam ternyata justru menimbulkan pro dan kontra. Sebagian mengatakan Sunan Sendang Duwur adalah wali Allah, sebagian merasa itu sihir terbesar yang pernah ada.
Namun Sunan Sendang Duwur tetap tenang. Saat warga sedang berdebat, dia muncul dan berkata. Tidak ada sihir dalam agama Islam. Tapi ini karena Izin Allah SWT. Jika sihir dia akan melakukan ritual. Tapi ini adalah kekuatan doa.
Warga masih tak percaya. Sunan Sendang Duwur menunjukkan bahwa Sunan Sendang Duwur tidak minta bantuan siapapun kecuali bantuan Allah SWT.
Akhirnya Sunan Sendang Duwur berdiri di hadapan warga. Dia memegang sebuah batu yang sangat keras. Dengan kekuatannya, batu itu perlahan hancur dan menjadi pasir. Tak lama kemudian pasir itu berubah menjadi butiran emas.
Semua warga jadi yakin. Sunan Sendang Duwur tidak memakai ritual apapun kecuali doa dan keyakinan pada Allah SWT. Dari masjid inilah Sunan Sendang Duwur terus melakukan syiar agama Islam.
Sumber :
– wiyonggoputih
– akhmatweb dan diolah dari berbagai sumber